Dalam Kasus Tanjung Priok Terjadi Pelanggaran HAM Berat Berupa
A. Pengiriman tenaga kerja secara paksa
B. Terjadinya perbudakan di negeri asing
C. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang
D. Kelalaian dalam memberi pelayanan kesehatan
E. Pencemaran tanah dan udara
Jawaban yang tepat : C. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang
Essay – Dalam Kasus Tanjung Priok Terjadi Pelanggaran HAM Berat Berupa?
Jawaban : Peristiwa Tanjung Priok pada 12 september 1984 merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia. Di dalamnya terjadi pembunuhan secara kilat oleh aparat (tentara) kepada warga sipil. Dalam tragedi tersebut juga terjadi penangkapan, penahanan, dan penyiksaan warga sipil.
Sejarah Tragedi Tanjung Priok
Dalam catatan sejarah, Indonesia pernah mengalami banyak sekali pelanggaran HAM yang keji. Misalnya saja pada masa pemerintahan Order Baru, terjadi banyak kasus pelanggaran HAM seperti pembantaian orang yang dianggap simpatisan PKI, penculikan aktivis pro-demokrasi, Tragedi Trisakti, Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok, dan masih banyak lagi.
Tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu pelanggaran HAM yang sangat keji di Indonesia. Tragedi ini terjadi pada 12 september 1984 yang melibatkan warga sipil dengan aparat dimana warga sipil banyak menjadi korban kekejaman aparat waktu itu.
Dikutip dari Bencana Umat Islam di Indonesia 1980-2000 (2002), tragedi Tanjung Priok berawal dari perselisihan antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan warga sipil pada 10 september 1984.
Ketika itu, Babinsa meminta warga untuk mencopot spanduk dan brosur yang dianggap tidak bernapaskan Pancasila. Waktu Pemerintahan Order Baru memang gencar larangan paham-paham yang dianggap anti-Pancasila.
Permintaan pencopotan spanduk yang dipasang di Masjid Baitul Makmur itu tidak dipenuhi oleh warga. Sehingga petugas Babinsa mencopot spanduk itu sendiri, namun mereka melakukannya dengan pencemaran terhadap masjid.
“pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa dihapus dan tidak ada peralatan di tempat itu untuk dipakai menghapusnya. Maka, tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan,” ditulis oleh Irfan F. Awwas.
Petugas Babinsa ketika melakukan pencopotan juga tidak melepas alas kaki saat masuk ke Masjid Baitul Makmur. Kabar ini membuat warga menjadi marah dan berkumpul di masjid.
Pengurus Masjid Baitul Makmur, yaitu Syarifuddin Rambe, Ahmad Sahi, dan Sofwan Sulaeman telah berusaha menenangkan warga. Namun warga telah emosi kemudian membakar sepeda motor milik Babinsa. Alhasil Syarifuddin Rambe, Ahmad Sahi, Sofwan Sulaeman dan warga yang diduga membakar motor, yakni Muhammad Nur ditangkap aparat.
11 september 1984, warga meminta bantuan tokoh masyarakat setempat, yakni Amir Biki untuk menyelesaikan permasalahan ini. Amir dan sejumlah warga mendatangi Kodim Jakarta Utara. Mereka meminta dengan baik-baik agar orang yang ditangkap sebelumnya bisa dibebaskan. Namun sayangnya permintaan ini tidak mendapat tanggapan.
Sepulang dari Kodim, Amir Biki mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim se-Jakarta untuk membahas masalah tersebut. Kepada aparat diminta untuk melepas keempat jamaah yang ditahan dan segera diantar ke mimbar sebelum pukul 23.00 WIB.
Tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Kemudian terbagilah dua kelompok Massa untuk bergerak menuju Kodim dan Polsek. Pada pagi harinya, tanggal 12 september 1984, ada sekitar 1.500 orang yang mulai bergerak.
1.500 massa tersebut mendapat hadangan dari aparat militer bersenjata lengkap menurut laporan yang diterbitkan oleh LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berjudul “Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok” (2004).
Menurut Irta Sumitra (salah satu saksi) “Saya melihat tentara mundur, tetapi mengarahkan senjatanya ke arah massa”.
Massa yang datang meski telah dihadapkan dengan senjata api, mereka tetap menuntut pembebasan atas kawan-kawan mereka. Namun tuntutan tersebut malah dibalas oleh aparat dengan peringatan untuk membubarkan diri. Situasi kian memanas, dan tentara waktu itu langsung melepas tembakan ke arah massa.
Korban dari massa tak dapat terhindarkan, beberapa yang masih selamat bahkan ditangkap dan disiksa oleh aparat (laporan KontraS). Setelahnya lokasi tersebut langsung dibersihkan untuk menghilangkan jejak tanda-tanda terjadinya kerusuhan.
Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban dari tragedi tersebut, menurut Panglima ABRI L.B. Moerdani, ada 18 orang tewas dan 53 luka-luka dalam insiden tersebut.
Namun data ini berbeda dengan data Sontak (Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok) yang menyebut tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi tersebut, data ini belum termasuk orang yang luka-luka dan hilang.
Penutup
Nah itulah penjelasan mengenai pertanyaan “Dalam Kasus Tanjung Priok Terjadi Pelanggaran HAM Berat Berupa?” berserta catatan sejarahnya. Jadi tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu pelanggaran HAM terberat yang pernah terjadi di Indonesia yang di dalamnya terdapat pembunuhan, penangkapan, serta penyiksaan warga oleh aparat.